"Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu"
-QS. Al-Baqarah [2] : 147-

Selasa, 24 April 2012

MUFRADAT : AL-BID'ATU

Oleh : al-Ustadz KH. I. Shodikin



أَلْبِدْعَةُ أَلإِخْتِرَاعُ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ.
Al-Bid’atu ialah melakukan / membuat satu cara tanpa contoh yang terdahulu.

بَدِيْعُ السَمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُوْلُ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ. (البقرة : 117)
Allah pencipta langit-langit dan bumi, dan apabila Dia berkehendak menciptakan sesuatu, maka (cukuplah) Dia mengatakan kepadanya : “Jadilah“, lalu jadilah dia.

Pengertian “Jadilah“ bukan berarti tanpa proses kejadiannya. Hal ini sesuai dengan sunnatullah, maka Allah pun tidak akan merubah sunnah-Nya. Hal ini sesuai dengan firman-Nya :
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ. (هُوْد : 7)
Dan Dia lah yang menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam masa.

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَافِي الأَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ. (البقرة : 29)
Dan Dia lah yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu, kemudian Dia berkehendak menuju ke langit, lalu menjadikannya tujuh langit . Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

أَلْمُبْدَعُ وَالبِدْعُ يُقَالُ لَهُمَا جَمِيْعًا بِمَعْنَى الفَاعِلِ وَالـمَفْعُوْلِ :
قُلْ مَاكُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُسُلِ وَمَاأَدْرِي مَايُفْعَلُ بِي وَلاَبِكُمْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلاَّ مَايُوْحَى إِلَيَّ وَمَاأَنَا إِلاَّ نَذِيْرٌ مُبِيْنٌ. (الأَنْعَام : 101)
Al-Mubda’u dan Al-Bid’u keduanya biasa diungkapan bagi ma’na fa’il atau maf’ul. Sebagaimana firman Allah :
Katakanlah : Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul dan akau tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang jelas.
 . 
إبْتَدَعَ  فُلاَنٌ بِدْعَةً يَعْنِي إِبْتَدَأَ طَرِيْقَةً لَمْ يَسْبِقْهُ إِلَيْهَا سَابِقٌ.
Ibtada’a fulanun bid’atan , berarti si fulan melakukan cara tanpa ada yang mendahuluinya (dalam melakukan perbuatan itu).

Sebagaimana yang yang telah dima’lumi, bahwa satu lafadh tergantung penggunaannya oleh yang melafadhkannya.

Oleh karenanya, apabila ungkapan lafadh “Bid’ah“ pada beberapa keterangan di atas, merupakan ungkapan dari segi bahasa. Maka tentu akan berbeda apabila lafadh tersebut diungkapkan oleh Rasulullah Saw. sebagai pembawa syara’ dari Tuhannya. Karena yang dimaksud oleh beliau lafadh “Bid’ah“ itu merupakan lawan dari lafadh “Sunnah“.

Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa ma’na sunnah ialah segala sesuatu yang datang dari Nabi Saw., berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan beliau atas perkataan atau perbuatan shahabatnya.

Oleh karenanya , apa yang dilakukan oleh manusia berupa perkataan atau perbuatan dalam masalah agama tanpa ada landasan sumber dari Nabi Saw. disebut “Bid’ah“. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Saw. :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هذا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدُّ.  (البُخَارِي، مُسْلِمٌ، أَبُودَاوُدَ)
Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan kami ini (agama) yang bukan bagian darinya, maka hal itu tertolak.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. (مُسْلِمٌ)
Barangsiapa yang melakukan satu pekerjaan (agama) yang bukan berdasarkan perintah kami, maka perkerjaan itu pasti tertolak.

Sehubungan dengan hal itu Imam Asy-Syathibi memberikan batasan sebagi berikut :

أَلْبِدْعَةُ طَرِيْقَةٌ فِي الدِيْنِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِي الشَرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ. (الإِعْتِصَامُ : 1/ 37)
Bid’ah itu ialah satu cara yang diada-adakan dalam agama yang menyerupai hukum syara’, yang dimaksud menelusuri pekerjaan itu berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.

Apabila kita memperhatikan batasan ini, maka jelas bahwa yang dimaksud bid’ah itu hubungannnya dengan maslah hukum syara’ (ibadah). Hal ini biasa terjadi dalam kaifiyyah tertentu atau yang berhubungan dengan waktu dan tempat tertentu. Pada umumnya para pelakunya tidak merasakan atau menyadari bahwa ini satu kesalahan. Oleh karenanya bahaya bid’ah lebih besar daripada pelanggaran hukum lainnya.

Imam Asy-Syathibi memberikan contoh-contoh sebagai berikut :

إِلْتِزَامُ الكَيْفِيَّاتِ وَالهَيْآتِ المُعَيّنَةِ كَالذِكْرِ بِهَيْئَةِ الإِجْتِمَاعِ عَلَى صَوْتٍ وَاحِدٍ وَاتِّخَاذِ يَوْمِ وِلاَدَةِ النَبِيِّ صلعم عِيْدًا.
Menentapkan cara-cara dan keberadaan yang ditentukan, seperti dzikir dengan cara berjama’ah mengikuti bacan seseorang, juga menjadikan hari kelahiran Nabi Saw. sebagai hari raya.

وَمِنْهَا إِلْتِزَامُ العِبَادَةِ المُعَيَّنَةِ فِي أَوْقَاتٍ مُعَيَّنَةٍ لَمْ يُوْجَدْ لَهَا ذَالِكً التَعْيِيْنُ فِي الشَرِيْعَةِ كَالْتِزَامِ صِيَامِ يَوْمِ النِصْفِ مِنْ شَعْبَان وَقِيَامِ لَيْلَتِهِ. (الإِعْتِصَامُ : 1/ 39)
Di antaranya lagi menetapkan cara ibadah yang ditentukan pada waktu-waktu tertentu yang tidak ada ketentuannya dalam syari’at, seperti menetapkan shaum pada pertengahan bulan sya’ban dan shalat pada malam harinya.

Berdasarkan contoh-ncontoh di atas, maka bid’ah itu ada dua macam; Bid’ah Mahdlah dan Bid’ah ghair Mahdlah. Bid’ah Mahdlah ialah bid’ah yang sama sekali tidak ada sumber dalil dari syari’. Bid’ah ghair mahdlah pada asalnya ada sumbernya, namun dari segi menentukan waktu, tempat dan kaifiyyatnya lah yang kemudian berubah menjadi bid’ah.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More