"Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu"
-QS. Al-Baqarah [2] : 147-

Kamis, 22 Maret 2012

KHUTBAH JUM'AT : TIGA GOLONGAN DALAM MENYIKAPI AL-QUR’AN

Oleh : al-Ustadz KH. I. Shodikin*

Sebagaimana yang telah kita maklumi, bahwa menghadapi dan menyikapi satu masalah itu tergantung kepada persepsi masing-masing. Hal ini diungkapkan di dalam al-Qur’an, bahwa ketika al-Qur’an turun ternyata ada tiga macam sikap / cara menghadapi al-Qur’an, ketika dinyatakan ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ , pertama dinyatakan هُدَى لِلْمُتَّقِينَ , yang kedua الَّذِينَ كَفَرُوا , dan yang ketiga adalah وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللَّهِ وَباليَوْمِ الأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤْمِنِينَ .

Dalam arti yang pertama, disikapi bukan oleh orang-orang yang iman, tetapi disikapi oleh orang-orang yang bertaqwa. Kenapa demikian? Ini menunjukkan bahwa orang yang beriman belum tentu bertaqwa, tetapi orang yang bertaqwa pasti beriman. Oleh karenanya, kenapa dinyatakan    هُدَى لِلْمُتَّقِينَ , bukan هُدَى لِلْمُؤْمِنِيْنَ . Apabila demikian, ada orang-orang mu’min yang tidak muttaqin, tetapi yang muttaqin pasti mu’minin. Barulah diterangkan sifat-sifat muttaqin :
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ 2 الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ  يُنْفِقُونَ 3 وَالَّذِينِ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِاْلآخِرَةِ هُمْ يُوِقنُونَ 4 أُولَـئِكَ عَلَى هُدًى مِن رَبِّهِمْ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ 5

Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa # (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami anugerahkan kepada mereka # Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat # Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.

Apabila demikian jelaslah, bahwa al-Muttaqun itulah al-Muflihun, bahwa al-Muflihun itu bukan al-Mu’minun, tetapi al-Muflihun adalah al-Muttaqun. Oleh karenanya kitapun sama-sama maklumi, apabila dalam berbagai ayat sering diungkapkan seperti yang yang berhubungan dengan bab shaum, yang diseru pada asalnya adalah يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا, tetapi pada akhirnya  لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ , bukan لَعَلَّكُمْ تُؤْمِنُونَ , bahwa harus ada peningkatan dari iman kepada ketaqwaan. Inilah yang dimaksud أُولَـئِكَ عَلَى هُدًى مِن رَبِّهِمْ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ , hidayah yang mana yang dimaksud?

Sungguh teristimewa manusia, ketika akan menghadapi dan menyikapi suatu perkara, mereka sudah terlebih dahulu dibekali oleh penciptannya. Ketika pada suatu saat sesuai dengan keberadaannya, menyikapi sesuatu cukup dengan insting, menghadapi sesuatu perkara cukup dengan alat belia, menghadapi sesuatu perkara cukup hanya dengan kekuatan akal, tetapi pada suatu saat menghadapi suatu perkara tidak cukup hanya dengan kemampuan akal, kemampuan berfikir, tetapi perlu kepada keterangan dari yang tahu kepada masalah-masalah ghaib. Makanya kenapa hidayah itu ada beberapa tingkatan, ada yang dimaksud dengan hidayatul ilham, hal ini adalah sama dengan hidayatul hawas hanya alat belia, pada seluruh hewanpun ada, akan tetapi manusia ada lebihnya, dibekali dengan hidayatul aqli­. Tetapi pada manusia tidak cukup hidayatul aqli, karena keterbatasan kemampuan menggunakan akal yang ada pada dirinya. Terlalu banyak perkara-perkara yang tidak bisa dicapai oleh akal, dalam hal inilah barangkali Allah menurunkan Rasul untuk menyampaikan sesuatu perkara yang kadang-kadang tidak terjangkau oleh akal, adalah yang dimaksud dengan hidayatud dilalah, yang lebih dikenal dengan hidayatud diin, tetapi hidayah diin-pun belum cukup, baru hanya sekedar sampai kepada iman. Barulah lengkap dan sempurna bila hidayah ini adalah mencapai yang disebut hidayatut taufiq, dan hidayah taufiq inilah yang dimaksud,
أُولَـئِكَ عَلَى هُدًى مِن رَبِّهِمْ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ 5
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
Ketika menerangkan dan menyikapi al-Qur’an, di mana diterangkan al-Muttaqun ada beberapa ayat, tetapi ketika menerangkan cara menyikapi yang kedua yaitu dari orang-orang kufur ayat ini cukup dua ayat,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ ءَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُونَ 6 خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةُُوَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ 7
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman # Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup dan bagi mereka siksa yang amat berat.

Namun yang teristimewa ketika menerangkan orang yang ketiga, tiada lain adalah orang-orang yang nifaq, begitu panjang ayatnya, lebih panjang daripada menerangkan sifat-sifat orang yang taqwa. Hal ini menunjukkan meminta perhatian dan sikap waspada kepada orang-orang tertentu terhadap sikap dan prilaku orang-orang yang menghadapi al-Qur’an dengan cara begitu. Kenapa demikian? Barangkali inilah nanti yang diterangkan oleh Rasulullah SAW., bahwa yang membaca al-Qur’an pada suatu saat bukan hanya orang-orang taqwa dan beriman saja, wayaqr’ul qur’an tsalaatsatun (dan orang yang membaca al-Qur’an ada tiga kelompok); pertama yang mu’minun bihi, ada orang yang membaca qur’an sambil mengimani kepada isinya; yang kedua wal-kaafiru, orang kufurpun sewaktu-waktu membaca al-qur’an, tetapi tetap dia itu adalah kaafirun bihi (kufur kepada al-Qur’an); dan yang lebih berbahaya adalah yang ketiga, wal-munaafiqu wal-faajiru, dia membaca al-Qur’an tetapi dia membaca al-Qur’an bukan menolak, dia membaca al-Qur’an apalagi iman, tetapi yata’akkalu, dia hanya sekedar mempermainkan. Mereka mengatakan innamaa nahnu mustahzi’un, makanya jangan heran apabila pada suatu saat Rasul menyatakan bahwa orang-orang yang munafiq mereka membaca al-Qur’an yujaadiluuna bihil-mu’minin, untuk membantah kepada orang yang mengimani al-Qur’an, hal ini terbukti sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah bahwa suatu saat akan sampai, dan kita alami. Sehingga mereka mengaku islam, bahkan terlebih dari pada itu mereka mengaku Rasul Allah, tetapi anehnya mereka menyatakan shalat itu tidak wajib, shaum itu tidak wajib, zakat itu tidak wajib. Inilah yang digambarkan oleh Rasulullah, dan justru mereka mengemukakan hal itu menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, fayujaadiluuna bihil-mu’minin.

Apabila halnya demikian, maka tidak mustahil pada suatu saat hal-hal yang seperti ini ternyata sudah dekat kepada kita, sudah kita alami, dan Rasul menggambarkan “tidak akan terjadi kiamat, kecuali akan bermunculan orang-orang yang mengaku nabi tidak kurang jumlahnya hingga mencapai 30 orang”, dan inilah yang dikatakan oleh Rasulullah, sebagiannya sudah terbukti pada saat ini.

Baarakallaahu...

Ketika ada beberapa orang yang melaksanakan ketentuan dan perintah Allah, mereka melakukan yang sama, akan tetapi ternyata akibatnya tidak sama. Mereka berkurban dengan beda jenis kurbannya. Yang satu diterima dan yang satu ditolak, padahal yang ditolak secara fisiknya ternyata lebih dari yang diterima. Ketika ditolak, orang yang melakukan kurban yang fisiknya lebih besar dan lebih baik, menyatakan : “kenapa kurban saya tidak diterima, padahal kurban kamu nilainya lebih rendah, lebih sedikit daripada yang aku keluarkan?”, maka orang itu menjawab “innamaa yataqabbalullahu minal-muttaqiin (hanyasaja Allah akan menerima segala pengurbanan itu dari orang-orang yang taqwa)”, bukan dari orang-orang yang beriman, tetapi minal-muttaqiin (daripada orang-orang yang taqwa).

Apabila demikian halnya, sejauh mana kita bisa mencapai derajat taqwa? Tiada lain, tentu pada asalnya adalah seperti yaa ayyuhalladziina aamanuu, kita dasari dengan iman, kita tingkatkan nilai keimanan, dan nilai keimanan inilah yang akan mencapai derajat taqwa. Orang yang taqwa pasti iman, orang yang iman belum tentu taqwa. Maka di antara mencapai derajat taqwa adalah al-ilmu dan al-‘amalu yang sesuai dengan dasar keyakinan yang ada pada diri kita masing-masing. Insya Allah dengan cara yang seperti itulah pada suatu saat kita akan bertaqwa, apakah shalat, shaum, zakat dan lain-lainnya akan termasuk kepada tingkatan al-Muttaquun.

* disarikan kembali oleh Ramdhan Setiansyah

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More