"Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu"
-QS. Al-Baqarah [2] : 147-

Jumat, 23 Maret 2012

KHUTBAH JUM'AT : MU'JIZAT YANG MELEMAHKAN

Oleh : al-Ustadz KH. I. Shodikin*

Di antara bahasa agama yang sudah populer di kalangan kita yaitu kata mu’jizat. Namun, ternyata sudah bergeser maknanya. Kalau terdengar kata-kata mu’jizat, maka yang terbayang adalah sesuatu yang aneh dan luar biasa. Ketika ada orang yang selamat dalam satu kecelakaan yang luar biasa, ia dikatakan “Ini adalah suatu mu’jizat”. Apakah seperti itu atau serendah itulah pengertian mu’jizat? Bahkan kita lihat akhir-akhir ini, ada film-film tertentu yang berjudul mu’jizat.

Menurut arti bahasa mu’jizat itu artinya melemahkan, mengalahkan yang seperti mu’jizat. Dalam arti, yang ini mu’jizat, yang terkalahkan bukan mu’jizat, tetapi sepintas lalu seperti mu’jizat. Justru dengan adanya mu’jizat adalah untuk membedakan di antara kepercayaan orang-orang banyak, yaitu yang disebut dengan sihir. Oleh karenanya tidak heran apabila kepada Nabi-nabi, mereka dituduh tukang sihir, yang dibawa oleh Nabi diungkapkan dengan kata-kata sihir, padahal jelas ada perbedaan yang mendasar antara mu’jizat dan sihir.

Sihir adalah la’ibun (permainan), oleh karenanya sihir itu bisa berulang kali dilakukan, kapan mau akan terjadi, di mana mau maka akan terjadi pada tempat dan waktu yang berbeda. Sedangkan mu’jizat tidak seperti itu, mu’jizat hanya terjadi satu kali, tidak lebih daripada itu. Dan inilah yang membedakan antara sihir dengan mu’jizat.

Oleh karenanya, ahli-ahli sihir mereka akan mengakui bahwa yang dibawa oleh Nabi itu bukan sihir, kenapa demikian? Karena apabila sihir, merekapun bisa melakukannya, karena sihir bisa dipelajari. Sedangkan ini mu’jizat, yang merupakan pemberian daripada Allah SWT sebagai bekal kepada para Nabi.

Kalau kita meneliti, memperhatikan sejarah mulai berkembangannya mu’jizat adalah sejak zaman Nabi Musa as. Saat itulah, di mana ketika berkembang orang begitu hebat menyenangi dan menyukai ilmu-ilmu sihir, maka diimbangi oleh Nabi Musa as. setelah kembalinya dari Madyan yang merupakan Negeri tertentu bukan di Mesir, meskipun Nabi Musa as. lahir di Mesir, tetapi Nabi Musa as. pernah keluar dari Mesir karena ada suatu kejadian yang luar biasa.

Sekembalinya dari Madyan lah Nabi Musa as. dinyatakan sebagai rasul, yukallimuhullah (yang langsung diajak dialog oleh Allah), maka banyak bekal-bekal yang diberikan kepada Nabi Musa as. oleh Allah SWT. Dan ketika sudah siap Allah SWT memerintahkan, idzhab anta wa akhuka bi-aayatii wa laa taniyaa fi dzikrii (pergilah engkau dengan saudara mu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan jangan engkau lalai untuk mengingat-Ku). Kenapa pada akhirnya, setelah ada perintah kemudian ada larangan? Biasanya ketika orang ada dalam kesenangan, keberuntungan, keunggulan, sewaktu-waktu dia lupa. Ketika membawa mu’jizat, rasanya lebih unggul dari yang lain. Nabi-pun secara tabiat manusia sama dengan manusia-manusia yang lainnya, ada kelemahan ada kekurangan, maka perlu diingatkan ...wa laa taniyaa fii dzikrii (janganlah engkau lalai untuk mengingat-Ku).

Sebagaimana yang kita maklumi, bahwa di Mesir ada dua latar belakar etnis yang berbeda, yang satu Qibti dan yang satu Bani Israil. Qibti / Egypt yang kemudian berkembang sebutan-sebutan itu adalah penduduk asli orang Mesir, sedangkan Bani Israil mereka baru datang ke Mesir setelah Nabi Yusuf as. masuk ke Mesir, ketika dia dijual-belikan dan dijadikan anak angkat oleh salah seorang terkemuka di Mesir. Sejak itulah kemudian berkembang keturunan Israil yang mendapat sebutan Bani Israil. Tetapi kenyataannya Bani Israil merupakan etnis yang mustad’afun (tertindas), sedangkan penduduk asli, orang-orang Qibti / Egypt mereka yang berkuasa, wajar karena rajanya adalah Fir’aun yang merupaka orang Qibti asli. Wajar pula apabila orang-orang Bani Israil dijadikan permainan oleh orang-orang Qibti. Jadi di sini kelihatan, Nabi Musa as. menghadapi dua masalah, yang satu menghadapi orang Qibti dengan pemimpin besarnya yang sudah melebihi batas yang mengakui, anaa rabbukumul-a’laa (saya Tuhan yang paling tinggi), dan satu sisi lagi menghadapi etnis yang sama yaitu Bani Israil. Maka Allah SWT memberikan tartib, siapa yang harus lebih dahulu dijadikan objek daripada dakwahnya, idzhab anta wa akhuka bi-aayati..., yang dimaksud adalah ilaa fir’auna, karena pada ayat berikutnya dinyatakan idzhab ilaa fir’auna wa innahu thaghaa.

Idzhab anta wa akhuka bi-aayatii... (pergilah engkau dengan saudara mu dengan membawa ayat-ayat-Ku...), di dalam al-Qur’an, apabila diungkapkan kata ayat, itu bisa mengandung dua pengertian, yang pertama dalam arti ayat kauniyah dan yang kedua ayat qauliyah. Yang dimaksud ayat kauniyah adalah yang berhubungan dengan hukum kejadian alam, bisa berarti mu’jizat. Sedangkan yang kedua ayat qauliyah, dalam arti isi risalah yang dibawa oleh para Nabi. Dua sisi inilah yang dibawa oleh Nabi Musa as. dan Nabi Harun as. kepada Fir’aun, juga kepada kaumnya kaum Qibti dan orang-orang Bani Israil.

Baarakallahu...

Mu’jizat yang diberikan kepada Nabi ternyata setiap saat berubah-ubah, sesuai keberadaan apa yang dialami dan yang terjadi pada ummat dalam satu masa. Kalau ketika pada zaman Nabi Musa as. begitu hebatnya orang mempelajari ilmu sihir, diimbangi oleh Allah SWT, Nabi Musa as. dibekali dengan mu’jizat yang seperti sihir. Namun, ketika terjadi kompetisi dengan ahli-ahli sihir yang mana mereka merupakan wakil daripada Fir’aun, setalah itulah, setelah dikemukakan mu’jizat oleh Nabi Musa as., ternyata saharatu fir’aun (ahli-ahli sihir fir’aun) mengakui bahwa ini bukan sihir. Mereka mengatakan, yang dibawa oleh Nabi Musa as. ini bukan sihir, sebab kalau sihir kamipun bisa mengikuti dan mempelajarinya. Oleh karenanya, mereka serempak menyatakan aamannaa bi rabbi musa (kami beriman kepada tuhan musa).

Kemudian setelah berganti masa, datang Nabi Isa as., di mana pada saat orang-orang sudah mulai mereka begitu hebat menyenangi yang berhubungan dengan ath-thibban (yang berhubungan dengan ilmu kedokteran), maka mu’jizat yang diberikan kepada Nabi Isa as. pun disesuaikan dengan kondisi pada saat itu. Makanya kenapa disebutnya Isa al-Masih, tetapi tentu berbeda dengan al-Masihud-Dajjal. Kalau Isa al-Masih artinya Isa yang mengusap, tetapi al-Masihud-Dajjal ini adalah usapan Dajjal, dalam pengertian, kalau orang yang diusap oleh Nabi Isa as. yang sakit jadi sembuh, tetapi kalau yang diusap oleh Dajjal yang sembuh jadi sakit. Dan ternyata, akhir-akhir inipun kita lihat dan kita dengar banyak yang diusap oleh Dajjal, kenapa tiba-tiba berubah yang sembuh jadi sakit? Tentu yang terutama bukan sakit fisik, tetapi fii quluubuhim maradhun (pada hati-hati mereka tiba-tiba berkembang penyakit-penyakit kejiwaan).

Tetapi ketika datang Nabi yang terakhir, ternyata mu’jizatnya itu berbeda dengan mu’jizat-mu’jizat yang sebelumnya. Pada masa ini, ketika masa keilmuan manusia bertambah maju, apakah yang berhubungan dengan ilmu bahasa terutama pada saat itu, ataupun ilmu-ilmu yang lainnya. Maka mu’jizat Nabi terakhir adanya pada al-Qur’an.

Pada al-Qur’an banyak masalah-masalah, makanya jangan heran apabila di dalam al-Qur’an banyak kajian-kajian tertentu oleh orang-orang tertentu dengan motif dan motifasi yang tertentu pula, apakah dengan motifasi yang positif atau motifasi yang negatif. Jangan heran, apabila pada suatu saat di satu perguruan tinggi Islam ada Dosen Besar pembimbing S2 yang mengajarkan Ilmu Tafsir, tetapi dia bukan orang Muslim, dia adalah orang-orang Nashrani yang mempelajari Ilmu Tafsir dan membimbing para mahasiswa Muslim. Inikan suatu kemusykilan, ada apa? Dan inilah barangkali yang digambarkan oleh Rasulullah SAW, fayata’allamuhul-munafiquuna (nanti pada suatu saat al-qur’an akan dipelajari oleh orang-orang munafiq), tetapi dengan satu catatan, fayujaadiluuna bihil-mu’miniin (mereka dengan satu tujuan adalah untuk membantah orang-orang iman). Makanya jangan heran banyak orang-orang Islam termasuk orang-orang yang berilmu berubah aqidahnya, berubah keyakinannya hanya dengan ayat-ayat al-Qur’an tertentu.

Kita perhatikan ketika pada saat orang mendambakan ilmu bahasa, datang al-Qur’an, ternyata orang-orang yang ahli bahasa pun mengakui. Ketika orang-orang Quraisy secara sembunyi-sembunyi mereka memperhatikan bacaan-bacaan al-Qur’an, mereka di hadapan orang-orang Quraisy dengan tegas menolaknya, tetapi di belakang, mereka akan mengakui sebetulnya apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. itu yakin bukan buatan Nabi Muhammad SAW. dan bukan buatan manusia biasa.

Ketika pada suatu saat ada seorang yang termasuk ahli bahasa dan diapun termasuk Kahin (paranormal), dia mendengar gunjingan orang banyak bahwa yang bernama Muhammad terkena penyakit yang aneh, penyakit langka dan luar biasa. Dia sengaja datang untuk mengobati Nabi Muhammad SAW., katanya, dia begitu sayang kepada cucu Abu Thalib keponakan Abdul Muththalib, karena dia anak yang baik. Kenapa dia terkena penyakit yang seperti ini? Biar saya yang akan menyembuhkannya. Rasulullah SAW tidak menjawab apa-apa, hanya membacakan al-hamdulillahi nasta’inuhu wa nastaghfiru wa na’uudzubillahi min syuruuri anfusina wa sayyiaati a’maalina man yahdihillah falaa mudhillalah wa man yudhlil falaa haadiyalah..., selesai beliau membacakan itu, Kahin tersebut berkata “coba ulangi lagi!”, diulangi lagi oleh Rasulullah SAW, Kahin tersebut berkata lagi “coba ulangi lagi!” sampai tiga kali. Tiba-tiba dia menyatakan asyhadu an laa ilaaha illal-lah wa asyhadu anna muhammadar-rasulullah, mustahil orang yang mempunyai penyakit seperti ini bisa mengungkapkan bahasa-bahasa yang begitu tinggi.

Umar ra. adalah salah seorang yang sering mengikuti kontes, kontes dalam menyusun bahasa yang setiap tahun diadakan di kota Makkah, dan pengikutnya bukan hanya orang Makkah. Menjadi satu kebanggan apabila yang berhasil dalam kontes itu, selama satu tahu diabadikan di dalam Ka’bah, sehingga setiap orang bisa membaca keindahan bahasa daripada syi’ir-syi’ir yang dibacakannya. Tetapi ketika pada suatu saat adik Umar ra. membacakan Qur’an Surat Thoha, hanya surat yang pendek, dengan kalimat-kalimat yang pendek, kenapa umar menyatakan, “ini bukan omongan manusia, kalau omangan maunisa akupun bisa daripada itu”. Ternyata umar sebagai ahli bahasa mengakuinya.

Dan sampai pada saat inipun masih ditantang oleh Allah SWT., wa in kuntum fi raibi mimmaa nazzalnaa ‘alaa ‘abdinaa... (silahkan jika kamu masih ragu-ragu tentang apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami), fa-tu bi suuratin..., (datangkan satu ayat saja seperti yang ada dalam al-Qur’an), seandainya wad’uu syuhadaa-akum..., (bila perlu silahkan pembantu-pembantu ahli apapun datangkan oleh kalian). Tetapi kenyataannya sampai saat ini belum ada seorang ahli bahasa yang mampu mengimbanginya, termasuk orang arab sendiri. Bahkan sampai saat ini belum ada ahli bahasa yang mampu menterjemahkan bismillahirrahmaanirrahiim ke dalam bahasa apapun juga, dalam arti, tentu penerjemahan secara latterleg, secara harfiyah. Yang ada pada kita itu adalah merupakan penjabaran, merupakan penjelasan daripada bismillahirrahmaanirrahiim.

Mudah-mudahan bahwa mu’jizat-mu’jizat yang diberikan Allah SWT kepada para Nabi dan mu’jizat yang terakhir yang ada dalam al-Qur’an, mudah-mudahan itu adalah menjadi hudan lilmuttaqin (menjadi petunjuk bagi orang-orang bertaqwa).

* disarikan kembali oleh Ramdhan Setiansyah

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More