Oleh : al-Ustadz KH. I. Shodikin
الْبَرُّ خِلاَفُ البَحْرِ.
Lafadz Al-Barru (daratan) adalah lawan dari lafadz Al-Bahru (lautan).
ظَهَرَ الفَسَادُ فِي البَرِّ وَ البَحْرِ بِمَاكَسَبَتْ أَيْدِي النَاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ* (الرُوْمُ : 41)
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Ungkapan daratan di dahulukan dari pada lautan, karena ghalibnya manusia tinggal di darat. Maka segala kaibatnya pun akan dimulai dari daratan, kemudian bergeser ke lautan.
Lafadz Zhahara adalah pola kata Madli, menunjukkan kepada peristiwa yang telah lalu. Namun pada ayat ini kejadian belum terjadi, menunjukkan waktu yang akan datang. Hal ini menunjukkan Tahqiq (peristiwa yang pasti terjadi), sehingga menggunakan bentuk Madli, seolah-olah telah terjadi.
Ungkapan bimaa kasabat aidin-naas, menjunjukkan bahwa gerak manusia itu sifatnya ikhtiyari, karena adanya unsur iradat dan syahwat. Manusia diberi pilihan oleh Allah untuk mewujudkan dan meninggalkan sesuatu dengan tujuan akhirnya mashlahat. Dalam arti tidak semua yang diinginkan dan sesuai dengan selera harus diwujudkan. Sebab apabila sesuatu harus diwujudkan hanya sekedar iradat dan syahwat, maka inilah yang akan menjadi sebab fasad (kerusakan). Oleh karenanya manusia diberi bekal akal dan akhirnya diberi bekal ad-Diin agar terwujd kemashlahatan di darat dan di laut sampai akhir zaman.
وَتُصُوِّرَ مِنْهُ التَوَسُّعُ فَاشْتُقَّ مِنْهُ البَرُّ أَيْ التَوَسُّعُ فِي فِعْلِ الخَيْرِ.
Kemudian diungkapkan dari lafadz itu sesuatu yang luas dalam ma’na tertentu kemudian berkembang darinya ungkapan luas dalam arti mengerjakan kebaikan.
وَيُنْسَبُ ذَالِكَ إِلَى اللهِ تَعَالَى تَارَةً :
Lafadz itu sewaktu-waktu dinisbahkan kepada Allah Ta’ala sebagaiman firman-Nya :
إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلُ نَدْعُوْهُ إِنَّهُ هُوَ البَرُّ الرَحِيْمُ* (الطُوْر : 28)
Sesungguhnya Kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan kebaikan (pahala) lagi Maha Penyayang.
وَإِلَى العَبْدِ تَارَةً، بَرَّ العَبْدُ رَبَّهُ أَيْ تَوَسَّعُ فِي طَاعَتِهِ. فَمِنَ اللهِ الثَوَابُ وَمِنَ العَبْدِ الطَاعَةُ.
Dan sewaktu-waktu dinisbahkan kepada hamba-Nya, Barral ‘abdu rabbahu, berarti dia sangat luas dalam tha’at kepada-Nya. Apabila lafadz itu dinisbahkan kepada Allah mengandung ma’na pahala dan dari hamba mengandung ma’na tha’at.
وَذَالِكَ ضَرْبَانِ، ضَرْبٌ فِي الإِعْتِقَادِ وَضَرْبٌ فِي الأَعْمَالِ.
Penggunaan lafadz itu bagi hamba ada dua macam; dalam masalah ‘itiqad dan dalam masalah amal.
لَيْسَ البِرَّ أَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ وَلكِنَّ البِرَّ مَنْ آمَنِ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ والمَلاَئِكَةِ وَالكِتَابِ وَالنَبِيِّيْنَ وَآتَى المـَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي القُرْبَى وَاليَتَامَى وَالمَسَاكِيْنَ وَابْنَ السَبِيْلِ وَالسَائِلِيْنَ وَفِي الرِقَابِ وَأَقَامَ الصَلاَةَ وَآتَى الزَكَاةَ وَالمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوْا وَالصَابِرِيْنَ فِي البَأْسَاءِ وَالضَرَّاءِ وَحِيْنَ البَأْسِ أُولئِكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَأُلئِكَ هُمُ المُتَّقُوْنَ* (البَقرة : 177)
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
Pada ayat ini diungkapkan ciri-ciri iman, baik perbuatan lisan, hati dan badan. Kesemuanya itu merupakan ungkapan ketha’atan yang hakiki dari seorang hamba kepada Tuhannya. Oleh karenanya pada akhir ayat diungkapkan dengan lafadz al-Muttaqun.
بِرُّ الوَالِدَيْنِ التَوَسُّعُ فِي الإِحْسَانِ إِلَيْهِمَا وَضِدُّهُ أَلْعُقُوْقُ.
Birrul waalidain berarti sangat luas dalam berbuat baik kepada mereka berdua dan lawan katanya adalah Al-’Uququ.
Keterkaitan antara walad dan walid, masing-masing mendapat tuntutan yang merupan hak dan kewajiban masing-masing bagi pihak lainnya. Kewajiban orang tua merupakan hak anak dan kewajiban anak merupakan hak orang tua. Sehingga keterkaitan tuntutan ini akan mewujudkan kesinambungan amal dalam satu nasab.
لاَيَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِي الدِيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُقْسِطِيْنَ* (المـُمْتَحَنَة : 8)
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.
Ayat ini menjelaskan hubungan anak muslim dengan orang tua yang bukan muslim. Bahwa selama mereka tidak memusuhi karena agama, maka berlaku hukum Al-Birru terhadap mereka. Dan inilah yang diungkapkan dalam ayat yang lain :
...وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا... (لقمان : 15)
...dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik (dalam masalah kehidupan dunia)...
جَمْعُ البَارِّ أَبْرَارٌ : إِنَّ الأَبْرَارَ لَفِي نَعِيْمٍ* (الإنْفِطَار : 13)
Pelakunya disebut “Al-Baarru“, dan jama’nya adalah “Al-Abraaru“.
حَجٌّ مَبْرُوْرٌ أَيْ مَقْبُوْلٌ.
Kemudian dari lafadz itu berkembang dalam pengungkapan yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah haji, yaitu Hajjun Mabruurun, maksudnya ibadah haji yang diterima di sisi Allah.
Hal ini menunjukkan, bahwa kemabruran itu akan terlihat setelah selesai pelaksanaan ibadah. Karena pada hakikatnya haji mabrur itu adalah merupakan akhlak sehari-hari. Oleh karenanya Ketika Rasulullah Saw. ditanya tentang “Al-Birru“, beliau menjawab :
البِرُّ حُسْنُ الخُلُقِ*
Al-Birru itu adalah akhlak yang baik.
0 komentar:
Posting Komentar