"Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu"
-QS. Al-Baqarah [2] : 147-

Minggu, 25 Maret 2012

KEADILAN MEMBASMI KEBATHILAN

Oleh : al-Ustadz KH. I. Shodikin*

Khalifah Umar pernah menerima surat dari seseorang yang merasa diperlakukan tidak adil oleh amir (pemimpin) yang diberi wewenang di Mesir. Sekalipun orang itu awam, umurnya sudah lanjut, miskin dan tidak mempunyai kawan yang berpengaruh di negeri itu, tetapi suaranya tetap didengar, suratnya mendapat perhatian dan tanggapan, serta masalahnya terselesaikan.

Orang tua itu mengadu kepada Khalifah bahwa rumahnya dibongkar dan tanahnya yang hanya beberapa meter itu diambil untuk pelebaran masjid di tempat itu.

Tidak lama setelah surat itu dikirim kepada Umar di Madinah, orang tua itu melihat beberapa pengawal dan kuli bersiap-siap membongkar kembali masjid yang sudah selesai dibangun. Ketika ditanyakan, orang tua itu mendapat jawaban dari mereka, bahwa Amir di Mesir telah menerima perintah dari Khalifah Umar agar tanah rampasan yang luasnya hanya beberapa meter itu segera dikembalikan kepada pemiliknya dan dibangun kembali sebuah rumah sebagai penggantinya.

Tatkala orang tua itu mendengar bahwa Khalifah Umar sudah memerintahkan Amir untuk mengembalikan tanah miliknya, dia berkata kepada mereka bahwa hatinya lega dengan berlakunya keadilan dan terjaminnya milik seseorang. Pada detik itu pula orang tua itu menyerahkan tanahnya untuk diwakafkan kepada masjid. Dan bangunan masjid itu tidak jadi dibongkar karena orang tua itu tidak memerlukan tanah, tetapi membutuhkan keadilan.

Hal lainnya terjadi pada masa keKhalifahan Ali bin Abi Thalib. Khalifah Ali melaporkan ke pengadilan bahwa baju besi miliknya hilang, dan kini ternyata baju itu dimiliki oleh seseorang dari golongan Nashrani.

Khalifah Ali dan tertuduh dipanggil oleh hakim pengadilan dan mereka duduk pada tempat yang sama. Tidak ada perbedaan antar rakyat biasa dan Khalifah, karena mereka sedang berhadapan dengan undang-undang. Sayyidina Ali tidak mau dipanggil dengan gelar kehormatannya, Aba Husein beliau minta dipanggil dengan nama Ali saja.

Tertuduh menyatakan bahwa baju besi itu miliknya : Lam abi’ wa lam ahab (Aku tidak akan menjualnya dan tidak akan memberikannya).

Ketika itu yang bertindak sebagai Qadli (hakim) ialah Syuriah. Dan Syuriah meminta supaya Sayyidina Ali memberikan keterangan untuk membuktikan bahwa baju besi itu miliknya. Sayyidina Ali mengusulkan agar Qamabar dan puteranya untuk menjadi saksi bahwa baju besi itu miliknya. Tapi Qadli menolaknya karena Qamabar adalah pembantu yang sangat cinta kepada Ali dan saksi kedua adalah puteranya sendiri, hal itu tidak akan menjamin keadilan dalam kesaksiannya, kemungkinan akan berat sebelah. Tatkala Ali diminta untuk mendatangkan saksi lain, Ali tidak bisa menghadirkannya.

Akhirnya Qadli pun mengetuk palunya tanda keputusan telah diambil bahwa baju besi itu bukan milik Ali dan tertuduh dibebaskan dari tuduhannya.

Tatkala keputusan itu diterima oleh Sayyidina Ali dengan baik, maka lawannya spontan menyatakan kepuasan hatinya, dan dia berkata : “Bila Islam itu demikian keadilannya, maka saya menyatakan Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah, dan saya serahkan baju besi ini kepada pemiliknya, Khalifah Ali. Saya pungut baju besi ini ketika Sayyidina Ali pergi ke medan perang dan baju itu terjatuh dari kendaraan beliau lalu saya memungutnya.

Kejadian lain, pada masa Umar bin Abdul Aziz. Tatkala Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khalifah dan diamanati memimpin kekuasaan, beliau melihat kenyataan-kenyataan yang harus dihadapi. Yang terberat ialah perpecahan di kalangan ummat. Fanatisme kesukuan dan golongan, serta perebutan kekuasaan telah mengesampingkan keadilan. Setiap yang dibenci pasti salah. Golongan sendiri pasti benar dan keturunanku tidak mungkin bersalah. Yang kuat pasti benar dan yang lemah pasti salah dan kalah. Kesalahan orang lain dicari dan kebaikannya dicatat, untuk merendahkan dan menanamkan rasa benci terhadap mereka yang dibenci, bila kebetulan mereka itu di luar golongan atau tidak seketurunan.

Sehubungan dengan itulah Allah SWT mengingatkan orang-orang beriman dengan firman-Nya :
“Yaa ayyuhannaasu inna khalaqnaakum min dzakarin wa untsaa wa ja’alnaakum syu’uuban wa qabaaila lita’aarafuu inna akramakum ‘inda atqaakum innal-laaha ‘aliimun khabiirun”
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujurat [49] : 13)

Oleh karenanya untuk mengatasi kenyataan pahit tersebut, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan agar ayat ke 90 QS. an-Nahl dikaji kembali, maknanya disarikan dan maksudnya diamalkan.
“Innal-laaha ya’muru bil-‘adli wal-ihsaani wa iitaaii dzil-qurbaa wa yanhaa ‘anil-fahsyaai wal-munkari wal-baghyi ya’izhukum la’allakum tadzakkarun”
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Setiap kali khutbah Jum’at ayat tersebut dibacakan dan diterangkan bahkan hingga kini masih ada sebagian khatib yang membacakan ayat tersebut pada akhir khutbahnya.

Mengapa ayat itu yang dipilih dijadikan obat untuk mengatasi kekacauan-kekacauan? Sebab pada ayat tersebut dianjurkan agar masing-masing berbuat adil dan hukumnya wajib memberikan dan membantu agar ketentuan undang-undang syari’at dapat berlaku dengan sempurna, sekalipun hal itu merugikan dirinya. Berani mengatakan benar, sekalipun menguntungkan pihak lawan. Menyerahkan dan mengamankan hak orang lain meskipun barang itu sangat diperlukan oleh dirinya.

Khalifah behasil menanamkan kembali rasa takut di kalangan ummat untuk melanggar undang-undang karena ternyata beliau bertangan besi tanpa pilih bulu. Sekuat-kuatnya orang pasti kalah menyerah dengan hak dan kebenaran.

Apabila ihsan telah merata, maka dzawilqurba, family, kenalan dan jiran akan merasakan kenikmatan hak yang diterima dan kewajiban yang dipenuhi. Tidak sia-sia bapakmencintai anaknya. Sebab anakpun menyerahkan hak orang tua, tidak akan terjadi ada anak yang dibuang oleh orang tuanya dan atau orang tua yang dibuang dan diusir oleh anak-anaknya. Adik menghormati kakaknya karena diapun merasakan kenikmatan persaudaraan yang ia terima dari kakaknya. Jerih payah seorang suami dan istri tidaklah sia-sia sebab masing-masing menerima haknya.

Setelah keadilan, ihsan dan hubungan baik berlaku, baru kita dapat membasmi ke¬bathil¬an melenyapkan kejahatan yang merugikan orang lain dan merendahkan martabat dirinya sendiri. Dan yang terakhir hilang nafsu untuk melakukan kejahatan dan pelanggaran.

Itulah nasihat Allah SWT agar manusia senantiasa ingat siapa dia, untuk apa diciptakan dengan dilengkapi oleh akal dan agama.

Adapun kandungan dari ayat di atas tadi, sesungguhnya manusia senantiasa agar : Berlaku adil, berlaku ihsan dalam perbuatan dan melakukan perbuatan yang sempurna, menyerahkan apa yang harus diserahkan kepada orang lain. Dan Allah SWT melarang :  Melakukan kejahatan yang merugikan orang lain, melakukan kemungkaran dan berkhianat kepada ilmu dan iman sendiri, serta jangan ada gerak nafsu buruk dalam bathin dan hindarkanlah kemauan untuk melakukan kejahatan. 

* disarikan kembali oleh Ibnul Chotib

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More