"Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu"
-QS. Al-Baqarah [2] : 147-

Senin, 26 Maret 2012

MENJADI MANUSIA MU’AFAN*

Oleh : al-Ustadz KH. I. Shodikin 

Rasulullah SAW banyak menggunakan bahasa Arab secara urfi (adat dan kebiasaan). Para sahabat pun memahaminya, tetapi dalam beberapa kesempatan lain kadang mereka tidak memahami bahasa Arab yang diungkapkan Rasulullah SAW. Seperti halnya orang Sunda yang mengerti bahasa Sunda, tetapi ketika mendengar ungkapan dalam bahasa Sunda banyak yang tidak memahami ungkapan itu padahal, sama diungkapkan dengan bahasa Sunda.

Pada suatu kesempatan Rasulullah SAW mengungkapkan salah satu firman Allah SWT, Innaladzina 'amanu walam yalbisu imanahum bidzulmin (Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mereka tidak mencampurkan keimanan mereka dengan kedzaliman). Para sahabat bertanya, “Bila demikian, siapa di antara kami yang tidak pernah dzalim?”. Dalam arti mereka memahami dzalim berdasarkan urfi. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa yang dimaksud dzalim pada ayat tersebut adalah Syirik. Ternyata penggunaan istilah semacam ini belum menjadi baku dan berlaku di kalangan orang-orang Arab.

Pada suatu saat Rasulullah SAW mengungkapkan kata-kata yadun (tangan). Dalam arti urfi adalah salah satu anggota badan, tetapi ketika sudah menjadi ungkapan tentu akan menjadi berbeda penggunaannya.
Rasulullah ditanya oleh istri-istrinya, “Siapa di antara kami yang paling dahulu wafat setelah engkau?” Rasul menjawab, Athwalu kunna yadan (yang paling panjang tangan di antara kalian). Ketika Rasulullah wafat, istri-istri beliau berkumpul saling megukur siapa di antara mereka yang paling panjang tangan, ternyata Siti Saodah. Tetapi pada kenyataannya yang paling dahulu wafat adalah Zainab binti Jahsyi. Barulah mereka paham bahwa panjang tangan yang dimaksud Rasulullah adalah yang paling banyak shadaqah, bukan secara urfi.

Kemudian  dalam satu kesempatan Nabi menggunakan kata mayyitun, tetapi dalam kesempatan lain beliau menggunakan kata mayitatun, padahal kejadiannya sama, yaitu peristiwa kematian yang menimpa makhluk hidup. Hal ini dikarenakan mayitatun digunakan secara mutlak yaitu untuk hayawanaat (makhluk hidup), tetapi mayyitun digunakan untuk manusia. Meskipun manusia termasuk jenis hayawanat, tetapi jelas bahwa manusia tidak sama dengan hayawanat secara mutlak.

Pada suatu saat ada ungkapan yang berbeda, dalam al-Quran sering diungkapkan kata-kata Yaa Ayyuhan Naas, apakah akan berubah ungkapan Nas ketika diungkapkan dua kali -Yaa Ayyuhan Nasnas-?. Kalau Yaa Ayyuhan Nas dalam al-Quran adalah wahai manusia, tetapi abila diungkapkan dengan Yaa Ayyuhan Nasnas maka sungguh akan berubah, seperti dalam ungkapan dikatakan Dzahaban nas wa baqiya nasnas (apabila manusia sudah hilang sifat kemanusiaannya, maka yang tersisa merupakan orangutan yang seperti manusia atau manusia yang seperti orang hutan). Barangkali ini perbedaan antara Yaa Ayyuhan Nas dan Yaa Ayyuhan Nasnas.

Pada suatu hari keranda jenazah yang diusung menuju Baqi  (tempat pemakaman umum) lewat di depan Rasulullah. Beliau berkata pada para sahabat : Ada dua kemungkinan mayit ini, apakah dia mustariihun atau mungkin mustaraahun minhu. Pada saat itu para sahabat merasa heran dan bertanya, Maa mustariihun wa maa mustaraahu minhu? (Apa yang dimaksud dengan mustariihun dan mustaraahu minhu?) Rasulullah menjawab : “Hamba yang mu'min lagi taqwa abila mengalami al-Mautu (kematian) mereka itu akan mustariihun (beristirahat) dari kelelahan, keletihan, dan kepenatan dunia. Sedangkan hamba yang durhaka, maka yang istirahat bukan dia, tetapi mustaraahu minhu, yaitu manusia-manusia di sekitarnya yang istirahat bahkan lingkungan, pepohonan serta hewan-hewan pun istirahat dari gangguan dia”.

Maka sabda Rasulullah SAW di atas, hakikatnya bukan memberitahu sebatas kabar kepada para sahabat tetapi terkandung makna insya'i (satu sisi berupa berita dan sisi yang lain berupa larangan). Kuunuu mustariihan walaa takunuu mustaraahan minhu (jadilah engkau pribadi yang mustariih jangan menjadi pribadi yang mustaraah minhu). Sebab bagaimanapun akan timbul akibat-akibat selanjutnya, karena pada hakikatnya kematian manusia bukanlah merupakan akhir dari kehidupan tetapi hanya istirahat sementara, untuk melanjutkan kehidupan berikutnya.

Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa pada suatu saat ada yang hanya sekedar mu'min tetapi ada juga yang lebih daripada itu, al-mu'minu taqiyu (mu'min lagi taqwa). Hal ini barangkali dapat kita pahami, al-Quran sendiri diungkapkan sebagai hudan (petunjuk), bukan lilmu'minin tetapi hudan lilmuttaqiin. Dalam ayat lain diterangkan, innama yataqobbalullahu minal muttaqiin, bukan minal mu'minin. Apabila demikian ternyata yang dimaksud dengan ahlun-nar (ahli neraka) bukanlah orang-orang kufur, meskipun kita sering berprasangka bahwa yang dimaksud dengan ahlun-nar itu adalah mereka, padahal justru ahlun-nar itu adalah orang-orang mu'min.

Oleh karenanya, Rasulullah SAW pernah menyatakan, seluruh umatku akan mendapatkan afwun (ampunan) Allah, kecuali mereka yang berprilaku mujaharah (mereka yang secara terang-terangan melakukan perbuatan ma'shiyat).

Suatu saat orang tidak malu lagi melakukan perbuatan ma'shiyat bahkan tidak mustahil merasa bangga. Hal seperti inilah yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya, Almujaharah itu ialah seseorang melakukan suatu perbuatan yang buruk pada malam hari -yang perbuatan itu ditutupi oleh Allah- tetapi pada pagi harinya justru dia sendiri yang menyebarluaskan, membuka aib sendiri, “Malam tadi saya mencuri ayam” atau ungkapan yang lainnya.

Memang ada tiga perkara untuk menghapus dosa, pertama dengan taubat, kedua dengan istighfar tetapi ketiga ada karunia Allah berupa afwun, yaitu tanpa amal shaleh, Allah langsung yang menurunkan karunia-Nya dan itulah yang dimaksud firman Allah, “Seperti pada waktu di dunia Aku menutupi perbuatan itu maka pada hari ini Aku akan mengampuni perbuatan itu.” Tetapi dalam hal ini Ibnu Bathal mengatakan, kenapa Aljahru fi ma'shiyati (terang-terangan melakukan perbuatan ma'shiyat) tidak akan mendapatkan afwun dari Allah? Karena mereka menganggap enteng akan hak Allah, hak Rasul, dan termasuk pelecehan kepada pribadi-pribadi mu'min yang shaleh.
Maka kesimpulan di atas jelas bahwa pelanggaran yang dilakukan pribadi mu'min itu ada dua macam : pertama, pelanggaran yang langsung dengan Allah, kedua pelanggaran dengan sesama manusia.

Pelanggaran dengan Allah besar harapan akan dimaafkan, tetapi pelanggaran dengan sesama manusia inilah yang perlu kita perhatikan.

Apabila pelanggaran dengan sesama manusia tidak pernah ditahalulkan di dunia, maka pasti akan terbawa di akhirat dan inilah yang akan terjadi qishos (balasan-balasan) dari perbuatan yang buruk itu.

Mudah-mudahan kita termasuk pribadi-pribadi yang mu'aafan (pemaaf) seandainya kita melakukan kesalahan-kesalahan tertentu.

*sumber : http://www.pajagalan.com/2007/08/menjadi-pribadi-muaafan.html

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More